Dulu sering kita mendengar adanya pasien yang ditolak dirawat oleh rumah sakit dengan alasan tidak mempunyai biaya buat pengobatan seperti pada kasus yang diambil dari situs kantor berita Antara (ANTARA NEWS) dengan judul “Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS W” di tertanggal 25 Agustus 2007. Dari berita tersebut berisikan bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada Jumat sore saat bayi tersebut hendak dirujuk ke RS L karena ditolak di RS W. Bayi tersebut meninggal dunia dalam perjalanan menuju RS L setelah bertahan hidup selama dua hari. Jenazah bayi yang lahir dengan langsung dikebumikan di pekuburan umum.
Bayi tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS W, sebuah rumah sakit negeri, namun pihak RS menolak merawat bayi itu karena orangtuanya tidak dapat menunjukkan karta tanda bukti penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) keluarga miskin.
Pada kasus di atas penyimpangan etika dan hukum dari instansi kesehatan terhadap bayi tersebut meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Sumpah dokter yang berbunyi “kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan”.
2. Deklarasi Lisabon 1981 yang menjelaskan tentang hak-hak pasien tentang hak dirawat dokter
3. Undang-undang Kesehatan no 23 tahun 1992 yang berisikan :
· pasal 2 : Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri
· penjelasan pasal 2 bagian d yang berbunyi asas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
· Pasal 4 : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal
· Pasal 7 pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan terjangkau oleh masyarakat.
· penjelasan pasal 7 upaya kesehatan yang merata dalam arti tersedianya sarana pelayanan di seluruh wilayah sampai daerah terpencil yang mudah di jangkau oleh seluruh masyarakat, termasuk fakir miskin, orang terlantar dan orang kurang mampua
· Pasal 57 : sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan tetap memperhatikan fungsi sosial.
· Penjelasan pasal 57 ayat 2 : fungsi sosial sarana kesehatan adalah bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan.
4. Asas pokok Etika Kedokteran yaitu
- O t o n o m i
a. Hal ini membutuhkan orang – orang yang kompeten,dipengaruhi oleh kehendak dan keinginannya sendiri dan kemampuan ( kompetensi ). Memiliki pengertian pada tiap-tiap kasus yang dipersoalkan memiliki kemampuan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan yang secara otonomi atau mandiri telah diambil.
b. Melindungi mereka yang lemah, berarti kita dituntut untuk memberikan perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian, pengasuhan kepada anak- anak, para remaja dan orang dewasa yang berada dalam kondisi lemah dan tidak mempunyai kemampuan otonom ( mandiri ).
- Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik
Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada negatif;“ PRIMUM NON NOCERE “ ( = janganlah berbuat merugikan / salah ).Hendaknya kita bernada positif dengan berbuat baik dan apabila perlu kita mulai dengan kegiatan yang merupakan awal kesejahteraan para individu / masyarakat.
- K e a d i l a n
Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan perlakuan antar manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan keadilan terhadap si individu dan masyarakat dimana mungkin terjadi resiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa segolongan manusia janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan lain. ( kodeki, MKEK,2002,hal.47 )
Dari kasus itu seharusnya RS W tetap menerima pasien bayi ditinjau dari segi etika dan hukum bukan menolak pasien lantaran tidak mempunyai biaya berobat. Padahal RS W merupakan salah satu rumah sakit negeri (milik pemerintah). Sehingga soal pembiayaan dana seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah bukan RS W sesuai dengan pasal 7 UU Kesehatan no 23 tahun1992.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengingatkan manajemen rumah sakit untuk tidak menolak pasien dari keluarga miskin. Bila menolak, bisa dilaporkan ke polisi dengan tuduhan cukup berat.Siti Fadilah mengatakan, tidak ada alasan bagi rumah sakit pemerintah menolak pasien dari keluarga miskin. Pasalnya, pemerintah sudah menyediakan jaminan pembayaran biaya perawatan kesehatan paling sedikit Rp 2,6 triliun untuk rumah sakit. Belum lagi dana-dana dari alokasi lain.Alasan administrasi juga tidak bisa dipakai untuk menolak pasien. Rumah sakit tidak dibenarkan menolak pasien dengan alasan kartu Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin) tidak berlaku lagi. ”Rawat dulu, urusan administrasi bisa dibereskan,” ujarnya.Siti Fadilah juga mengingatkan, pemerintah tetap menyediakan jaminan pembayaran perawatan kesehatan masyarakat miskin. Memang saat ini tidak lagi menggunakan nama Askeskin. Sekarang pemerintah menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).”Rumah sakit jangan menolak gara-gara Askeskin menjadi Jamkesmas. Apalagi, sampai menolak pasien yang hidupnya bergantung pada tindakan medis. Nanti saya laporkan ke polisi karena pembunuhan berencana,” ujarnya. (situs alumni-Kalabahu-lbh Jakarta yahoo group mengutip kompas tanggal 9 April 2008)
Semoga dari pemberitaan di atas tidak ada lagi pasien yang ditolak rumah sakit akibat tidak mempunyai biaya.
No comments:
Post a Comment