Meskipun dengan terapi yang
adekuat beberapa pasien DVT akan mengalami komplikasi jangka panjang seperti DVT berulang, emboli paru dan post-thrombotyc
syndrome.
Risiko terjadinya recurrent DVT
tergantung dari penyebab DVT tersebut. Trombus yang berasal dari pembedahan
atau trauma jarang menyebabkan terjadinya recurrent DVT. Individu dengan
spontaneus DVT tanpa faktor resiko akan mengalami resiko ulangan sebesar 30 %
dalam 10 tahun. Semakin banyak faktor resiko semakin tinggi resiko terjadinya
kekambuhan.
Pulmonary Embolism (PE)
muncul jika terjadi pelepasan fragmen trombus ke sirkulasi darah dan
mencapai jantung dan kemudian
menyumbat arteri pulmonalis. Emboli paru merupakan komplikasi
fatal yang memerlukan penanganan cepat. Gejala emboli paru biasanya sesak nafas, nyeri dada,
batuk tiba-tiba, sinkop dan
hemoptisis. Dari
pemeriksaan fisik bisa ditemukan takipnea, takikardi, tanda-tanda DVT, sianosis, demam
serta hipotensi.
Pada pasien yang dicurigai mengalami
PE harus dilakukan penilaian probabilitas klinis dengan menggunakan Revised
Geneva Score atau Wells Score yang membagi kemungkinan PE menjadi tiga kategori
yaitu risiko rendah, moderate dan berat. Kategori risiko berat atau pasien
mengalami hipotensi atau syok harus segera dilakukan CT scan dada jika tersedia
atau ekokardiografi. Jika positif, maka pasien diterapi dengan trombolitik atau
embolektomi. Pada pasien yang kategori risiko tidak berat, maka dilakukan tes
D-dimer terlebih dahulu yang bila hasilnya positif dilanjutkan pemeriksaan CT
multidetektor. Jika hasil CT multidetektor positif, maka diberikan terapi
antikoagulan seperti pada DVT .
Post
thrombotyc syndrome( PTS ) merupakan komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga pasien DVT
akan mengalami PTS. 5- 10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena.
Pada pasien DVT simptomatik proksimal diatas lutut, 80 % akan terjadi
komplikasi PTS. PTS yang berat dilaporkan pada 50 % kasus dan ulserasi lutut
muncul pada 10 % pasien. Kondisi ini akan menurunkan disabilitas dan kualitas
dari hidup. PTS rata-rata mengenai pasien berumur 56 tahun dan 50 % mengenai pasien
usia kerja, hal ini akan menurunkan kualitas sosial pasien. PTS disebabkan oleh
hipertensi vena kronik yang sekunder disebabkan oleh reflux vena, obstruksi
vena dan disfungsi katup vena. Gejala dari PTS ini adalah kelemahan tungkai, nyeri, gatal, bengkak, kaki terasa
berat dan klaudikasio vena.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema,
teleangiektasi perimalleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan,
sianosis. Pada kondisi yang berat dan tahap akhir
akan menyebabkan ulserasi vena. The
Subcommittee on Control of Anticoagulation of the Scientific and Standardization Committee of the
International Society on Thrombosis and
Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS. Compression Ultrasonography dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat
DVT sebelumnya. Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings
(ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression efektif
untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan
perbaikan gejala jangka pendek.
Compression therapy, perawatan kulit dan
topical dressings digunakan untuk
ulkus vena. PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien
risiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian
antikoagulan yang tepat dosis dan durasi, menggunakan elastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis
DVT ditegakkan.
PENCEGAHAN
Pencegahan DVT merupakan hal yang
sulit oleh
karena beberapa faktor risiko
tidak bisa diubah seperti umur dan riwayat keluarga. Berjalan dan mobilitas
dini pasca operasi dapat mencegah terjadinya DVT. Penggunaan elastic stocking pada pasien dengan
resiko terjadi DVT sangat berguna dalam pencegahan DVT. Elastic stocking sangat berguna selama tidak menimbulkan komplikasi
perdarahan, mudah dipakai dan tidak mahal. Intermitten
pneumatic compression sangat berguna pada pasien dengan resiko tinggi
terutama ada resiko terjadinya perdarahan. Penggunaan Unfractionated heparin dosis rendah dapat juga dipergunakan dalam
pencegahan DVT. Heparin dapat diberikan dengan dosis 5000 unit tiap 8 sampai 12
jam kemudian dapat digantikan warfarin jika resiko trombosis masih ada. Resiko
terjadinya perdarahan harus dimonitor secara ketat dengan menyesuaikan APTT
sesuai yang dikehendaki. LMWH dapat diberikan sekali atau dua kali sehari
sebagai pengganti UFH. Dari
penelitian yang dilakukan Agnelli dkk, penggunaan Enoxaparin bersamaan dengan compression stocking lebih efektif
dibandingkan penggunaan compression
stoking saja dalam mencegah terjadinya venous
thromboembolism pada pasien yang telah dilakukan pembedahan saraf. Sedangkan penggunaan
aspirin setelah penggunaan antikoagulan dihentikan dapat mencegah terjadinya
trombosis ulangan tanpa meningkatkan resiko perdarahan.
No comments:
Post a Comment