21 December 2013

Komplikasi dan Pencegahan Deep Vein Thrombosis

Meskipun dengan terapi yang adekuat beberapa pasien DVT akan mengalami komplikasi jangka panjang seperti DVT berulang, emboli paru dan post-thrombotyc syndrome.
Risiko terjadinya recurrent DVT tergantung dari penyebab DVT tersebut. Trombus yang berasal dari pembedahan atau trauma jarang menyebabkan terjadinya recurrent DVT. Individu dengan spontaneus DVT tanpa faktor resiko akan mengalami resiko ulangan sebesar 30 % dalam 10 tahun. Semakin banyak faktor resiko semakin tinggi resiko terjadinya kekambuhan.
           Pulmonary Embolism (PE) muncul jika terjadi pelepasan fragmen trombus ke sirkulasi darah dan mencapai jantung dan kemudian menyumbat arteri pulmonalis. Emboli paru merupakan komplikasi fatal yang memerlukan penanganan cepat. Gejala emboli paru biasanya sesak nafas, nyeri dada, batuk tiba-tiba, sinkop dan hemoptisis. Dari pemeriksaan fisik bisa ditemukan takipnea, takikardi, tanda-tanda DVT, sianosis, demam serta hipotensi. Pada pasien yang dicurigai mengalami PE harus dilakukan penilaian probabilitas klinis dengan menggunakan Revised Geneva Score atau Wells Score yang membagi kemungkinan PE menjadi tiga kategori yaitu risiko rendah, moderate dan berat. Kategori risiko berat atau pasien mengalami hipotensi atau syok harus segera dilakukan CT scan dada jika tersedia atau ekokardiografi. Jika positif, maka pasien diterapi dengan trombolitik atau embolektomi. Pada pasien yang kategori risiko tidak berat, maka dilakukan tes D-dimer terlebih dahulu yang bila hasilnya positif dilanjutkan pemeriksaan CT multidetektor. Jika hasil CT multidetektor positif, maka diberikan terapi antikoagulan seperti pada DVT .
Post thrombotyc syndrome( PTS ) merupakan komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga pasien DVT akan mengalami PTS. 5- 10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena. Pada pasien DVT simptomatik proksimal diatas lutut, 80 % akan terjadi komplikasi PTS. PTS yang berat dilaporkan pada 50 % kasus dan ulserasi lutut muncul pada 10 % pasien. Kondisi ini akan menurunkan disabilitas dan kualitas dari hidup. PTS rata-rata mengenai pasien berumur 56 tahun dan 50 % mengenai pasien usia kerja, hal ini akan menurunkan kualitas sosial pasien. PTS disebabkan oleh hipertensi vena kronik yang sekunder disebabkan oleh reflux vena, obstruksi vena dan disfungsi katup vena. Gejala dari PTS ini adalah kelemahan tungkai, nyeri, gatal, bengkak, kaki terasa berat dan klaudikasio vena. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi perimalleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis. Pada kondisi yang berat dan tahap akhir akan menyebabkan ulserasi vena. The  Subcommittee on Control of Anticoagulation of the Scientific  and Standardization Committee of the International Society on  Thrombosis and Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS.  Compression Ultrasonography dapat dilakukan untuk  menegakkan diagnosis pada  pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya. Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan  elastic compression  stockings  (ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan,  intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala jangka pendek.  Compression therapy, perawatan kulit dan  topical dressings  digunakan untuk ulkus vena. PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien risiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi, menggunakan  elastic compression stocking  selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis DVT  ditegakkan.

PENCEGAHAN

Pencegahan DVT merupakan hal yang sulit oleh karena beberapa faktor risiko tidak bisa diubah seperti umur dan riwayat keluarga. Berjalan dan mobilitas dini pasca operasi dapat mencegah terjadinya DVT. Penggunaan elastic stocking pada pasien dengan resiko terjadi DVT sangat berguna dalam pencegahan DVT. Elastic stocking sangat berguna selama tidak menimbulkan komplikasi perdarahan, mudah dipakai dan tidak mahal. Intermitten pneumatic compression sangat berguna pada pasien dengan resiko tinggi terutama ada resiko terjadinya perdarahan. Penggunaan Unfractionated heparin dosis rendah dapat juga dipergunakan dalam pencegahan DVT. Heparin dapat diberikan dengan dosis 5000 unit tiap 8 sampai 12 jam kemudian dapat digantikan warfarin jika resiko trombosis masih ada. Resiko terjadinya perdarahan harus dimonitor secara ketat dengan menyesuaikan APTT sesuai yang dikehendaki. LMWH dapat diberikan sekali atau dua kali sehari sebagai pengganti UFH. Dari penelitian yang dilakukan Agnelli dkk, penggunaan Enoxaparin bersamaan dengan compression stocking lebih efektif dibandingkan penggunaan compression stoking saja dalam mencegah terjadinya venous thromboembolism pada pasien yang telah dilakukan pembedahan saraf. Sedangkan penggunaan aspirin setelah penggunaan antikoagulan dihentikan dapat mencegah terjadinya trombosis ulangan tanpa meningkatkan resiko perdarahan.

No comments:

Post a Comment