21 December 2013

Cara Mendiagnosis Deep Vein Thrombosis (DVT)

Berdasarkan tipenya DVT dapat dibagi menjadi tipe sentral yaitu DVT pada vena iliaka atau femoral dan tipe perifer bila DVT terjadi pada vena poplitea dan daerah di distalnya. Untuk mendiagnosis suatu DVT maka langkah pertama yang harus dievaluasi pada pasien adalah penilaian klinis berupa tanda, gejala dan faktor risiko terjadinya trombosis vena. Pasien dengan gejala yang simtomatis DVT menunjukkan nyeri pada tungkai, pembengkakan, lembek di sepanjang distribusi DVT, kemerahan atau sianosis.
Tanda dan gejala dari DVT dapat muncul beberapa hari atau bisa juga berkembang dalam beberapa jam. Tanda dari DVT meliputi edema, nyeri, hangat, kemerahan atau perubahan warna kulit pada daerah yang terkena (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea  dolens/blue leg). Kadang-kadang betis terasa tebal, berat, terasa sedikit tidak nyaman ataupun bisa nyeri yang hebat saat berdiri maupun aktivitas. Pada kasus tertentu kadang-kadang DVT tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun. Hal ini bisa disebabkan oleh karena tidak terjadi obstruksi total pada vena dan adanya sirkulasi kolateral. Diantara pasien DVT yang mempunyai gejala pada ekstremitas bawah, kurang dari sepertiga mempunyai tanda klasik yaitu betis yang tidak nyaman, edema, distensi vena dan nyeri kaki pada saat didorsofleksikan (Homans’s sign). Seringkali diagnosis DVT tidak intensif dan tidak akurat karena gejala dan tanda klinis seringkali overlapping dengan penyakit lain. Differential diagnosis dari DVT ini meliputi kelainan pada lutut dan betis seperti penyakit muskuloskeletal, gangguan limphatik, dan kista popliteal. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis DVT diperlukan diagnosis tes yang sensitif dan spesifik.
Ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis DVT, antara lain :

A. Skor Wells
Skor Wells digunakan untuk menstratifikasi pasien dengan kemungkinan menderita DVT, dapat dibagi menjadi kelompok resiko rendah, sedang dan tinggi.

Tabel Skor Wells pretes probablitas untuk memprediksi kejadian DVT
Clinical Characteristic Score
Kanker aktif ( menjalani terapi dalam 6 bulan, atau paliatif ) = 1
Paralisis, paresis, atau menjalani immobilisasi pada ekstremitas bawah = 1
Terbaring di tempat tidur > 3 hari atau menjalani bedah mayor dalam 12 mg dengan Anestesi regional atau umum  = 1
Pada perabaan teraba lembut sepanjang sistem distribusi vena dalam = 1
Seluruh kaki bengkak = 1
Pembengkakan betis lebih besar 3 cm dibandingkan daerah yang asimptomatis (diukur 10 cm dibawah tibial tuberosity) = 1
Edema pitting terbatas pada kaki yang terkena =1
Vena kollateral superficial (nonvaricose) = 1
Pernah mengalami DVT sebelumnya =1
Diagnosis alternatif setidaknya mungkin sebagai DVT  =  -2

Diagnosis alternatif termasuk : phlebitis superficial, muscle strain, kaki bengkak pada tungkai yang paralise, insufisiensi vena, edema karena penyebab sistemik seperti CHF atau cirrhosis, obstruction vena eksternal (misalnya karena tumor), lymphangitis atau lymphedema, hematoma, pseudoaneurysm atau  abnormalitas pada lutut.


Tabel Interpretasi Skor Wells
Interpretasi skor Wells
Tes                                           Hasil                                                 Interpretasi
Skor Wells                               ≥3                                          High pretest probability
                                                 1-2                                         Intermediate pretest probability
                                                  ≤0                                         Low pretest probability

Tabel Evaluasi Pretes Probability dari Skor Wells
Tes yang direkomendasikan pada pasien dengan intermediate or high pretest probability ( Wells score ≥1 )
Tes                                         
Ultrasound jika Positif  = Terapi dimulai
Ultrasound jika Negatif  = pertimbangkan D-dimer jika secara klinis kecurigaan DVT sangat tinggi.
Jika D-dimer positif lakukan ultrasound dalam 3-7 hari.

Tabel Evaluasi Pretes Probability dari Skor Wells
Tes yang direkomendasikan pada pasien dengan low pretest probability 
Tes            
D-dimer  jika Positive (>400 ug/ml)   =  duplex ultrasound dengan kompresi
               jika Negative (≤ 400 ug/ml) =    pertimbangkan diagnosis alternatif



B. Ultrasonography Vena
Ultrasonografi vena adalah pilihan untuk pasien dengan hasil skor Wells pretest probabilitas moderate atau tinggi. Bersama dengan pemeriksaan D-dimer, ultrasonography vena merupakan tes yang paling berguna dan obyektif dalam mendiagnosis DVT. Penggunaan ultrasonography vena dan tes D-dimer bersama dengan penilaian klinis dapat menurunkan penggunaaan contrast venography yang merupakan standar diagnosis DVT. Ultrasonography vena dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya thrombus pada vena ekstremitas bawah, menentukan karakteristik dan staging dari penyakit thrombus dan mengevaluasi apakah suatu thrombus berpotensi menyebabkan suatu emboli. Meskipun ultrasonography vena sangat reliable untuk mendiagnosa DVT pada fase akut, tetapi ultrasonography vena sangat terbatas dalam mendiagnosa DVT kronik. Ultrasonography vena merupakan tes yang obyektif pada pasien dengan high atau moderate pretest probability. Jika hasil ultrasonography vena pada kelompok tersebut positif maka diagnosa DVT sudah dapat ditegakkan. Jika ultrasonography vena dikerjakan pada kelompok low pretest probability hasilnya negatif maka diagnosa DVT dapat disingkirkan.
Kriteria ultrasound duplex pada DVT antara lain : vena tidak tertekan pada posisi melintang dengan probe Doppler, tampak adanya trombus, tidak ada aliran pada imaging color, vena tidak dilatasi saat dilakukan valsava maneuver (khusus untuk vena femoralis), respiratory phasicity kurang. Dalam keadaan normal vena tertekan/terkompresi oleh probe Doppler, dengan posisi melintang. Vena yang tidak terkompresi menggambarkan adanya trombus. Trombus yang baru terlihat sangat echolusent sehingga susah untuk memvisualisasikannya. Lama-lama trombus menjadi echogenic (putih) dan keadaan kronik mungkin tampak rekanalisasi (dinding menebal, pada lumen tampak aliran tidak teratur). Tidak tampak ada aliran darah pada imaging color menunjukkan adanya oklusi. Pada vena sentral seperti vena ilaka, lebih susah untuk mengevaluasi secara langsung dengan duplek dan maneuver kompresi. Cara tidak langsung yang dapat digunakan adalah dengan aliran phasic. Dilatasi vena femoralis yang tidak normal dengan maneuver valsalva dapat timbul pada trombosis vena iliaka dan variasi normal respirasi pada aliran menunjukkan ketidakadaan phasic.
Ultrasonography vena B mode dengan atau color duplex imaging mempunyai sensitifitas sebesar 95 % dan spesifitas 98 % dalam mendiagnosa DVT proksimal yang simptomatis, sedangkan untuk mendiagnosis DVT distal  simptomatis sensitivitas dan spesifisitasnya hanya  60-70%. Ultrasonography vena mempunyai kelebihan berupa non invasive, cepat, aman dan mudah dikerjakan. Tetapi ultrasonography vena mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat memvisualisasi vena iliaka dengan baik dan sulit dikerjakan pasien obesitas.

C. Tes D-Dimer
Tes D-dimer adalah tes untuk mengukur produk degradasi cross-linked fibrin. D-dimer meningkat dalam plasma dengan adanya bekuan darah akut karena aktivasi simultan koagulasi dan fibrinolisis. Selama proses pembentukan trombus maka fibrinogen akan diubah menjadi fibrin monomer yang terikat dengan jaringan polimer. Selama proses fibrinolisis maka polimer fibrin tersebut akan terdegradasi yang akan menghasilkan produk akhir fibrinolisis berupa fragmen fibrin D-Dimer. D-dimer sangat spesifik untuk fibrin dan spesifisitas fibrin untuk DVT adalah rendah karena D-dimer yang meningkat tidak hanya pada keadaan trombosis akut tetapi juga pada kondisi, seperti kehamilan, kanker, peradangan, infeksi, nekrosis, diseksi aorta sehingga hasil D-dimer positif tidak berguna Sebaliknya, hasil negatif menggunakan berguna untuk menyingkirkan DVT akut.
 Saat ini telah tersedia beberapa metode penilaian D-Dimer, seperti enzyme-linked immunofluorecense assays (Elisa) (sensitifitas 96%),microplate enzyme-linked immunosorbent assays (sensitifitas 94%), quantitative latex atau immunoturbidimetric assays(sensitifitas 93%), whole blood D-dimer assays (sensitifitas 83%) dan latex semiquantitative assays (sensitifitas 85%). Tes-tes ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti Elisa merupakan tes yang sensitif tetapi membutuhkan banyak waktu, perlu pemeriksaan yang intensif dan tidak praktis pada keadaan emergensi. Sedangkan tes whole blood D-dimer assays mudah dikerjakan dan praktis, tetapi kekurangannya mempunyai sensitifitas yang rendah. D-dimer juga dapat digunakan untuk menentukan durasi terapi antikoagulan, dari penelitian yang dilakukan Palareti dkk menunjukkan bahwa pasien yang melanjutkan pemakaian antikoagulan dengan nilai D-dimer yang abnormal setelah menggunakan antikoagulan selama 3 bulan mempunyai resiko terjadinya venous troboemboli ulangan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak melanjutkan pemakaiaan antikoagulan.
Ultrasonografi dapat dikombinasikan dengan tes D-dimer dan mengurangi sekitar 60% dari jumlah pasien yang harus menjalani serial ultrasonografi. Jika USG awal hasilnya adalah normal dan hasil D-dimer adalah negatif, pengujian lebih lanjut dengan serial ultrasonografi tidak perlu dan terapi antikoagulan belum perlu diberikan. Oleh karena itu, tes D-dimer dapat mengurangi jumlah pemeriksaan USG yang diperlukan padai pasien yang datang dengan dicurigai  episode pertama DVT.

D. Venografi / Flebografi
Venografi dengan kontras merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis DVT. Teknik ini menginjeksikan suatu kontras iodinated pada vena kaki bagian dorsal untuk masuk ke sistem vena bagian dalam ekstermitas bawah. DVT didiagnosis bila terdapat filling defect. Venografi merupakan prosedur yang mahal, tidak selalu tersedia, tidak nyaman bagi pasien, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan renal insufficiency atau alergi terhadap kontras. Venografi juga mempunyai kekurangan, sekitar 20 % venogram tidak dapat menampilkan visualisasi yang adekuat. Oleh karena keterbatasan diatas maka venography bukan merupakan prosedur yang rutin dikerjakan untuk mendiagnosis DVT. Bagaimanapun venografi merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis DVT, terutama bila prosedur lain gagal untuk mendiagnosis DVT.

E. Computerised Tomography vena
Computerised tomography vena atau CT venography merupakan salah satu modalitas untuk mendiagnosis DVT. CT venography dapat dikerjakan dengan metode langsung yaitu melakukan pungsi vena pada vena dorsal kaki kemudian dilakukan injeksi kontras maupun tidak langsung dengan penyuntikan kontras pada arteri hingga timbul venous return. CT venography dapat mendeteksi DVT secara akurat dan kombinasi bersama CT pulmonary angiography telah direkomendasikan untuk mengevaluasi emboli paru dan DVT dengan satu kali pemeriksaan.
CT venography mempunyai sensitivitas 96 % dan spesivisitas 95 % untuk mendiagnosis DVT proksimal. CT venography dapat memvisualisasi vena pelvis, trombus pada vena iliaka dan vena cava inferior. CT venography mempunyai kekurangan yaitu penggunaan kontras media yang menimbulkan efek radiasi pada pasien, sulit untuk menginterpretasikan jika terdapat artefak atau pengisian vena yang menurun, lebih mahal, memerlukan teknik seorang ahli dan tidak tersedia di setiap rumah sakit .

F. Magnetic Resonance Imaging
             Satu lagi modalitas yang digunakan untuk mendiagnosis DVT adalah Magnetic Resonance Imaging Vena (MRI Vena). MRI vena dapat digunakan untuk memvisualisasikan vena pelvis, mendeteksi adanya ekstensi trombus pada vena iliaka dan pada vena cava inferior. MRI vena mempunyai sensitivitas 96 % dan spesivisitas 93 % dalam mendiagnosis DVT simptomatis, sedangkan untuk DVT bagian distal MRI hanya mempunyai sensitivitas sebesar 62 %.MRI vena dapat dikerjakan dengan atau tanpa kontras. Untuk mendapatkan gambaran struktur vaskular yang lebih baik dapat digunakan kontras seperti gadolium. Kontras dapat diinjeksikan melalui vena kaki atau lengan.

No comments:

Post a Comment