Showing posts with label jantung dan pembuluh darah. Show all posts
Showing posts with label jantung dan pembuluh darah. Show all posts

09 January 2014

Klasifikasi Hipertensi pada Kehamilan

Kalau membicarakan mengenai hipertensi pada kehamilan, yang selalu kita pikirkan adalah preeklampsi atau eklampsi. Ternyata ada juga klasifikasi hipertensi lainnya pada kehamilan. Ada beberapa klasifikasi yang dikeluarkan di berbagai negara. Tetapi klasifikasi yang direkomendasikan adalah klasifikasi oleh National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group on Hypertension in Pregnancy karena dapat digunakan dengan mudah dan praktis . Tujuan penting dalam klasifikasi ini adalah dapat digunakan untuk membedakan antara preeklampsia dan eklampsia dari kelainan hipertensi pada kehamilan yang lain karena baik preeklampsia maupun eklampsia mempunyai prognosis yang buruk pada morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Berikut ini adalah klasifikasinya :

Kriteria Hipertensi dalam Kehamilan

Hipertensi Kronik
·         Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu usia kehamilan dan tidak termasuk pada penyakit trophoblastic gestasional, atau
·         Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg didapatkan pada usia kehamilan > 20 minggu menetap 12 minggu postpartum
·         Diagnosis sulit ditegakkan pada trisemester pertama kehamilan dan umumnya didapatkan pada beberapa bulan setelah melahirkan.
Hipertensi Gestasional
·         Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg didapatkan pertama kali pada usia kehamilan > 20 minggu
·         Tidak ada proteinuria maupun tanda dan gejala preeklampsia
·         Tekanan darah kembali normal pada 42 hari setelah post partum
·         Definisi ini meliputi wanita dengan sindroma preeklampsia tanpa disertai manifestasi proteinuria
·         Mempunyai resiko hipertensi pada kehamilan selanjutnya
·         Dapat berkembang menjadi preeklampsia maupun hipertensi berat.
Preeklampsia
        Kriteria minimal
·         Tekanan darah sistolik darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
·         Disertai proteinuria ≥ 300 mg / 24 jam atau ≥ +1 pada pemeriksaan urin sesaat dengan urin dipstik atau rasio protein : kreatinin urine ≥ 0.3
Kriteria tambahan yang memperkuat diagnosis
·         Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
·         Proteinuria 2.0 g/24 jam atau ≥ +2 pada pemeriksaan urin sesaat dengan urin dipstik.
·         Serum kreatinin > 1.2 mg/dl kecuali sudah didapatkan peningkatan serum kreatinin sebelumnya
·         Trombosit < 100.000/μl
·         Hemolisis mikroangiopati – peningkatan LDH
·         Peningkatan kadar serum transaminase – ALT atau AST
·         Nyeri kepala yang menetap atau gangguan cerebral maupun visual lainnya
·         Nyeri epigastrium yang menetap
Eklampsia
·         Kejang yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada wanita dengan preeklamsia
Hipertensi kronis superimpose preeklampsia
·         Wanita hipertensi dengan proteinuria ≥ 300 mg / 24 jam yang baru muncul dan tidak didapatkan sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau
·         Peningkatan mendadak pada proteinuria dan tekanan darah atau jumlah trombosit < 100.000 /μl pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.

Intinya adalah kapan hipertensi itu diketahui dan apakah terdapat proteinuri. 
Jika hipertensi diketahui sebelum usia kehamilan 20 minggu dan proteinuri negatif berarti hipertensi kronis.
Jika hipertensi diketahui sebelum usia kehamilan 20 minggu dan proteinuri positif  berarti hipertensi kronis superimposed preeklampsi. 
Jika hipertensi diketahui sesudah usia kehamilan 20 minggu dan proteinuri negatif berarti hipertensi gestasional.
Jika hipertensi diketahui sesudah usia kehamilan 20 minggu dan proteinuri positif bisa berarti preeklampsi atau eklampsi.

28 December 2013

Perbandingan antara Joint National Committee (JNC) 7 dengan JNC 8

Metodologi :
JNC 7 : Non sistematis literatur review oleh komite ahli termasuk berbagai desain studi. Rekomendasi berdasarkan consensus
JNC 8 : Pertanyaan kritis dan kriteria ulasan didefinisikan oleh panel ahli dengan masukan dari tim metodologi. Tinjauan sistematis awal oleh methodologists berbasis bukti Randomized Clinical Trial (RCT). Peninjauan kembali dari bukti RCT dan rekomendasi oleh panelis menurut standar protocol.
Definisi
JNC 7 : definisi hipertensi dan pre hipertensi
JNC 8 : Definisi hipertensi dan prehipertensi tidak difokuskan, tapi ambang batas pengobatan farmakologis didefinisikan
Target  terapi
JNC 7 : tujuan pengobatan yang ditetapkan untuk hipertensi tanpa komplikasi dan untuk subset dengan berbagai kondisi komorbiditas (diabetes dan gagal ginjal kronis)
JNC 8 : Target perlakuan yang sama ditetapkan untuk semua populasi hipertensi kecuali bila terdapat bukti yang mendukung target tekanan darah yang berbeda untuk subpopulasi tertentu
Rekomendasi gaya hidup
JNV 7 : Modifikasi gaya hidup direkomendasikan berdasarkan tinjauan pustaka dan pendapat ahli
JNC 8 : Modifikasi gaya hidup yang direkomendasikan didukung Rekomendasi evidence based dari Kelompok Kerja gaya hidup
Terapi obat
JNC 7 : 5 kelas antihipertensi dapat digunakan sebagai terapi awal, tetapi direkomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien tanpa indikasi tertentu untuk kelas antihipertensi yang lain. Ditentukan kelas obat antihipertensi tertentu untuk pasien
dengan indikasi antara lain diabetes, gagal ginjal kronis, gagal jantung, infark miokard, stroke, dan kardiovaskuler risiko tinggi termasuk daftar tabel obat antihipertensi oral, nama dan rentang dosis yang biasa digunakan.
JNC 8 : Direkomendasikan seleksi antara 4 kelas obat tertentu (ACEI atau ARB, CCB atau diuretik) dan dosis berdasarkan bukti dari RCT. Direkomendasikan kelas obat tertentu berdasarkan penelaahan bukti
untuk subkelompok ras, gagal ginjal kronis  dan diabetes. Panelis membuat tabel obat dan dosis yang digunakan berdasarkan hasil uji coba.
Batasan topic
JNC 7 : Ditujukan beberapa masalah (metode pengukuran tekanan darah, komponen evaluasi pasien, hipertensi sekunder, kepatuhan rejimen, hipertensi resisten, dan hipertensi pada populasi khusus) berdasarkan kajian literatur dan pendapat ahli
JNC 8 : Ulasan Bukti RCT terhadap sejumlah pertanyaan, yang dinilai oleh panelis untuk menjadi prioritas tertinggi
Proses ulasan sebelum publikasi
JNC 7 : Diulas oleh National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee, sebuah koalisi dari 39 profesional, masyarakat, dan organisasi sukarela utama dan 7 lembaga federal

JNC 8 : Diulas oleh para ahli termasuk mereka yang berafiliasi dengan profesional dan organisasi publik dan badan-badan federal, tidak satupun mendapat sponsor dari suatu organisasi.

UPDATE! Klasifikasi Hipertensi Terbaru dari Joint National Committee ke-8 (JNC 8)

JNC 8  merupakan klasifikasi hipertensi terbaru dari Joint National Committee yang berpusat di Amerika Serikat sejak desember 2013. JNC 8 telah merilis panduan baru pada manajemen hipertensi orang dewasa terkait dengan penyakit kardiovaskuler :
Para penulis membentuk sembilan rekomendasi yang dibahas secara rinci bersama dengan bukti pendukung . Bukti diambil dari penelitian terkontrol secara acak dan diklasifikasikan menjadi :
A. rekomendasi kuat, dari evidence base terdapat banyak bukti penting yang menguntungkan
B. rekomendasi sedang, dari evidence base terdapat bukti yang menguntungkan
C. rekomendasi lemah, dari evidence base terdapat sedikit bukti yang menguntungkan
D. rekomendasi berlawanan, terbukti tidak menguntungkan dan merusak (harmful).
E. opini ahli
N. tidak direkomendasikan
Beberapa rekomendasi terbaru antara lain  :
1 . Pada pasien berusia ≥ 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 150mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi untuk sistolik < 150mmHg dan diastolik < 90mmHg . (Rekomendasi  Kuat-grade A)
2 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah diastolik ≥ 90mmHg dengan target < 90mmHg . ( Untuk usia 30-59 tahun , Rekomendasi  kuat -Grade A; Untuk usia 18-29 tahun , Opini Ahli - kelas E )
3 . Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dengan target terapi < 140mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
4 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi sistolik < 140mmHg dan diastolik < 90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
5 . Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes , mulai pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik BP ≥ 90mmHg dengan target terapi untuk sistolik gol BP < 140mmHg dan diastolik gol BP < 90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
6 . Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe thiazide, CCB , ACE inhibitor atauARB ( Rekomendasi sedang-Grade B ) Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 yang mana panel merekomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien .
7 . Pada populasi umum kulit hitam , termasuk orang-orang dengan diabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretic  tipe thiazide atau CCB . ( Untuk penduduk kulit hitam umum : Rekomendasi Sedang - Grade B , untuk pasien hitam dengan diabetes : Rekomendasi lemah-Grade C)
8 . Pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , pengobatan awal atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau ARB untuk meningkatkan outcome ginjal . (Rekomendasi sedang -Grade B )
9 . Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, tiingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari salah satu kelas dalam Rekomendasi 6 . Jika target tekanan darah  tidak dapat dicapai dengan dua obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada pasien yang sama . Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan obat-obatan dalam Rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat untuk mencapai target tekanan darah, maka obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan . (Opini Ahli - kelas E )
Daftar singkatan :
ACEI = angiotensin-converting enzyme inhibitor
ARB=  angiotensin receptor blocker
CCB = calcium channel blocker

Untuk mengetahui klasifikasi JNC 7 dapat dilihat disini
Untuk mengetahui perbedaan apa saja dari JNC 7 dan JNC 8 dapat dilihat disini

26 December 2013

Hipertensi Resisten

 Hipertensi Resisten adalah tekanan darah yang berada di atas target terapi walaupun telah menggunakan tiga jenis obat anti hipertensi dari golongan yang berbeda yang salah satunya adalah diuretik dan semua obat telah diberikan dalam dosis yang optimal. Hipertensi resisten juga meliputi penderita dengan tekanan darah yang terkontrol dengan penggunaan lebih dari 3 obat antihipertensi.
Prevalensi hipertensi resisten belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan mengenai 5-30% dari keseluruhan penderita hipertensi. Penderita dengan hipertensi resisten memiliki peningkatan risiko terjadinya stroke, aneurisma aorta, infark miokard, gagal jantung kongestif dan kegagalan ginjal dibandingkan dengan penderita hipertensi lainnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi resisten
Sejumlah faktor dikaitkan terhadap terjadinya hipetensi resisten antara lain :
Faktor Genetik
Pada hipetensi resisten terdapat varian gen 2β dan γ ENaC (epithelial sodium channel) secara signifikan lebih sering dijumpai dibandingkan dengan penderita normotensi. Selain itu enzim CYP3A5 (11b-hydroxysteroid dehydrogenase type 2) yang berperan pada metabolisme kortisol dan kortikosteron dikaitkan dengan ras Amerika-Afrika dengan hipertensi yang sulit mencapai target tekanan darah.
Faktor Gaya Hidup
Obesitas
Mekanisme hipertensi akibat obesitas cukup kompleks meliputi gangguan ekskresi natrium, peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Konsumsi Alkohol
Dalam suatu analisis cross-sectional pada penderita dewasa dengan ras Cina yang mengkonsumsi > 30 gelas akohol seminggu, risiko terjadinya hipertensi meningkat dari 12 menjadi 14%.
Faktor terkait Retensi Cairan
Retensi cairan dan status volume yang berlebih akibat kelainan pada ginjal dan terapi diuretika yang tidak adekuat dapat menyebabkan hipertensi resisten.
Penyebab terkait Obat-obatan
Beberapa agen farmakologis seperti nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs), aspirin dan asetaminofen dapat meningkatkan tekanan darah dan berkontribusi terhadap resistensi terapi. Obat-obatan lainnya yang dapat memperburuk kontrol tekanan darah meliputi agen simpatomimetik seperti dekongestan dan berbagai pil diet, siklosporin, takrolimus, amphetamine-like stimulants, modafinil, kontrasepsi hormonal dan steroid.
Penyebab Sekunder
Obstructive Sleep Apnea (OSA)
OSA yang tidak diterapi berkaitan erat dengan terjadinya hipertensi. hipoksemia yang intermiten dan/atau peningkatan resistensi jalan napas bagian atas terkait OSA menginduksi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis yang akan meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan curah jantung dan resistensi perifer serta peningkatan retensi cairan.
Aldosteronisme Primer
Aldosteronisme primer cukup sering pada penderita hipertensi resisten dengan prevalensi sekitar 20%.
Feokromositoma
Terjadi peningkatan dan derajat variabilitas tekanan darah berhubungan dengan kadar sekresi norepinefrin oleh feokromositoma
Sindroma Cushing
Hipertensi terjadi pada 70 hingga 90% penderita dengan sindroma Cushing. Mekanisme utama terjadinya hipertensi pada sindroma Cushing adalah stimulasi yang berlebihan dari reseptor mineralokortikoid nonselektif oleh kortisol.
Kelainan Parenkim Ginjal
Resistensi terapi pada penderita dengan gagal ginjal dikaitkan dengan peningkatan retensi cairan dan natrium serta ekspansi volume intravaskular.
Stenosis Arteri Renalis
Lebih dari 90% stenosis arteri renalis merupakan akibat dari aterosklerosis.
Diabetes Melitus
Efek patofisiologis terkait insulin resisten yang dapat berkontribusi terhadap perburukan hipertensi meliputi peningkatan saraf simpatis, proliferasi sel otot polos vaskular dan peningkatan retensi natrium. 
Terapi
Terapi ditujukan pada identifikasi dan mengembalikan faktor pola hidup terkait resistensi terapi, diagnosis yang akurat, dan terapi yang tepat terhadap penyebab sekunder hipertensi serta penggunaan regimen multi-drug yang efektif .
Terapi non farmakologi :
 Perbaikan pola hidup meliputi penurunan berat badan, olahraga yang teratur, diet tinggi serat, rendah lemak, rendah garam, dan pembatasan asupan alkohol harus dilakukan. Obat-obatan yang berpotensi menyebabkan resistensi terapi harus dihindari.
Terapi penyebab sekunder
Optimalisasi Ketaatan Penderita
Ketaatan terapi menurun bila jumlah obat yang harus dikonsumsi semakin banyak, jadual dan dosisnya rumit, serta harganya mahal. Regimen yang diresepkan harus sesederhana mungkin mencakup penggunaan kombinasi obat dengan durasi kerja panjang untuk menurunkan jumlah pil yang diresepkan dan memungkinkan jadual yang sederhana.
Terapi Farmakologis
Terapi Diuretika
Pada kebanyakan penderita penggunaan diuretika tiazide durasi kerja panjang dapat sangat efektif. Pada penderita dengan gagal ginjal,  furosemid dapat bermanfaat dalam kontrol volume dan tekanan darah yang efektif. Masa kerja furosemid relatif pendek dan sering membutuhkan setidaknya dua kali pemberian. Sebagai alternatif, torsemid dapat digunakan.
Terapi Kombinasi
Dalam kombinasi beberapa obat, lebih baik melanjutkan kombinasi agen dengan mekanisme aksi yang berbeda. Pada kondisi ini, regimen tiga obat berupa ACE inhibitor atau ARB, calcium channel blocker dan diuretika tiazid cukup efektif dan dapat ditoleransi secara umum. Bisa juga ditambahkan beta blocker seperti bisoprolol jika heart rate > 85 kali/menit dan tidak ada kontra indikasi.
Antagonis Reseptor Mineralokortikoid
Antagonis reseptor mineralokortikoid seperti spironolacton memberi manfaat antihipertensi yang cukup berarti ketika ditambahkan pada regimen multidrug yang telah digunakan. Juga obat amilorid bertindak antagonis terhadap epithelial sodium channel pada duktus koligentes distal sehingga berfungsi sebagai antagonis aldosteron secara tidak langsung. 

21 December 2013

Terapi Trombolitik pada Deep Vein Thrombosis (DVT)

Pemberian antikoagulan dapat melisiskan trombus secara cepat sehingga mencegah terjadinya VTE/DVT berulang. Akan tetapi dari studi meta analisis setelah diikuti selama 6 bulan ditemukan sejumlah trombosis residual yang berhubungan dengan timbulnya risiko VTE/DVT berulang. Antikoagulan tidak menyebabkan trombolisis tetapi hanya menghentikan propagasi dari trombus dan mencegah rekurensi. Oleh karena itu dipikirkan kemungkinan penggunaan trombolitik sebagai terapi DVT. Terapi tombolitik bisa dilakukan secara sistemik maupun lokal (catheter-directed  thrombolysis/CDT).

Terapi Trombolitik Sistemik
Trombolitik sistemik telah dipergunakan untuk melisiskan trombus, tetapi hal ini beresiko terjadinya perdarahan yang serius, seperti hematom peritoneal atau perdarahan intrakranial. Saat ini telah dipergunakan Urokinase dan rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) sebagai obat pilihan trombolitik sistemik, akan tetapi beberapa pusat kesehatan juga menggunakan streptokinase dan alteplase. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa trombolitik sistemik memberikan hasil lisis yang lebih baik dan menurunkan risiko Post Thrombotic Syndrome (PTS). Pada studi acak terkontrol ditemukan lebih dari 50% bekuan darah lisis pada pasien DVT proksimal dewasa dengan pemberian trombolitik sistemik streptokinase dibandingkan heparin. Studi jangka panjang menunjukkan streptokinase secara signifikan menurunkan angka kejadian PST. begitu juga pemberian tissue plasminogen activator yang dapat melisikan bekuan darah > 50% dibandingkan heparin pada DVT proksimal dan menurunkan kejadian PST. Trombolitik sistemik direkomendasikan pada DVT proksimal yang ekstensif dengan gejala kurang dari 14 hari, status fungsional baik, angka harapan hidup lebih dari enam bulan, resiko perdarahan yang kecil sedangkan Catheter directed intrathrombus thrombolysis (CDT) tidak tersedia. Dari suatu data observasional menunjukkan bahwa pasien dengan DVT yang dilakukan CDT mempunyai risiko perdarahan dan PTS lebih kecil dibandingkan thrombolisis sistemik. Tetapi jika dibandingkan dengan terapi standar antikoagulan, CDT mempunyai risiko PTS yang lebih kecil, sedangkan resiko perdarahan lebih besar. Trombolitik sistemik baru direkomendasikan apabila CDT sulit atau tidak tersedia.

Catheter-Directed  Thrombolysis (CDT)
CDT merupakan suatu tindakan pemasukan agen trombolitik secara langsung ke trombus vena melalui kateter multiple side hole dengan menggunakan imaging sebagai guiding. Pada penelitian prospektif multisenter, pemberian CDT urokinase pada 473 pasien DVT iliofemoral 88% berhasil mengalami fibrinolisis. CDT lebih sering berhasil pada pasien baru dengan onset ≤ 10 – 14 hari dari keluhan. Keluhan PTS juga lebih rendah dibandingkan mendapat antikoagulan saja. CDT dengan streptokinase atau rtPA + antikoagulan memberikan hasil fungsi vena yang normal jika dibandingkan antikoagulan saja. CDT ternyata juga menimbulkan perdarahan mayor berkisar antara 2-4% dan agen rtPA paling kecil perdarahan mayornya bila dibandingkan urokinase. CDT digunakan pada pasien dengan phlegmasia cerulean dolens, pasien dengan trombus yang progresif atau gejala memburuk walaupun dengan terapi antikoagulan awal dan untuk mencegah PTS.
Beberapa literatur menunjukkan CDT dengan antikoagulan pada pasien DVT iliofemoral merupakan prosedur terapi yang dapat diterima oleh karena : 1. Terapi tunggal antikoagulan gagal untuk mencegah terjadinya PTS pada pasien dengan DVT proksimal. 2. Pasien dengan DVT iliofemoral mempunyai faktor resiko tinggi untuk terjadinya PTS dan kecacatan. 3. CDT sangat potensial untuk mencegah terjadinya PTS dan memberikan keuntungan dibandingkan bedah thrombectomy, systemic thrombolysis dan antikoagulan tunggal. 4. CDT secara cepat dapat mengurangi gejala dibandingkan antikoagulan tunggal dan menurunkan resiko terjadinya emboli paru. Tidak seperti bedah thrombectomy, CDT tidak memerlukan general anestesi, insisi bedah dan periode recovery yang tidak lama. CDT lebih efektif dibandingkan trombolisis sistemik oleh karena tidak membutuhkan dosis yang besar dan dapat dikombinasikan dengan ballon angioplasty atau stent. Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner Syndrome). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Dari beberapa penelitian case control study juga terbukti, CDT dapat mengurangi kemungkinan terjadinya PTS dan dapat meningkatkan angka harapan hidup setelah follow up selama 20 bulan dibandingkan penggunaan antikoagulan tunggal.  Dari penelitian single center randomized juga terbukti CDT dapat meningkatkan fungsi dari vena setelah terjadi DVT dan mengurangi keluhan DVT.

                Kerugian dari pemakaian CDT adalah peningkatan terjadinya resiko perdarahan, memerlukan monitoring yang ketat dan memerlukan biaya yang lebih mahal. Beberapa studi menunjukkan adanya resiko major perdarahan sebesar 8% dan perdarahan intrakranial sebesar 0,2% pada pasien dengan CDT.

Pengobatan / Terapi Deep Vein Thrombosis

Tujuan utama penatalaksanaan DVT adalah mengurangi keluhan, menghentikan perluasan trombus, mencegah terbentuknya trombosis ulangan. Segera setelah diagnosis DVT ditegakkan maka pengobatan antikoagulan harus segera diberikan dengan mempertimbangkan apakah terdapat kontraindikasi seperti perdarahan yang aktif, trombositopenia (platelet < 20.000/mm3) dan pasca operasi mayor. Pilihan rejimen penggunaan awal pada orang dewasa antara lain :

(1) Unfractionated Heparin (UFH) intravena dengan dosis bolus awal 80 IU /kg  diikuti oleh infus intravena kontinyu, dosis awal adalah 18 IU/kg/jam dengan dosis maksimal 40.000 IU/hari. Dengan penyesuaian dosis untuk target activated parsial thromboplastin time (aPTT) memanjang sesuai dengan tingkat plasma heparin 0,3-0,7 IU/mL aktivitas anti-faktor Xa selama 5 sampai 7 hari atau dengan kata lain aPTT diperpanjang 1,5-2 kali dari kontrol. aPTT harus diperiksa 4-6 jam setelah injeksi bolus awal dan 3 jam setelah penyesuaian dosis atau satu kali sehari jika target dosis terapi telah tercapai. Jika target APTT sudah tercapai maka penggunaan Unfractionated Heparin dapat dihentikan setelah 5 hari setelah penggunaannya bersama warfarin. Untuk pengobatan trombosis masif penggunaan heparin dapat diperpanjang sampai 7- 14 hari.
(2) Low Molecular Weight Heparins (LMWH) dengan injeksi subkutan, tanpa perlu pemeriksaan rutin anti-faktor Xa (rejimen seperti enoxaparin dua kali sehari dengan dosis 1 mg / kg atau sekali sehari dengan 1,5 mg / kg, dalteparin sekali sehari dengan dosis 200 IU / kg atau dua kali sehari pada 100 IU / kg, atau tinzaparin sekali sehari pada 175 anti-Xa IU / kg). Pada pasien yang sudah terdignosa DVT maka LMWH merupakan antikoagulan pilihan utama sebagai terapi awal DVT. Karena mempunyai farmakokinetik yang bisa diprediksi maka LMWH dapat diberikan secara subkutan tanpa perlu monitoring laboratorium. Pada kasus tertentu seperti adanya penyakit ginjal (kliren kreatinin < 30 ml/menit), obesitas dan kehamilan dianjurkan pemeriksaan level anti-Xa empat jam setelah pemberian LMWH atau diganti dengan UFH.
 (3) Fondaparinux dengan injeksi subkutan sekali sehari dengan dosis  5 mg untuk pasien dengan berat 50 kg, 7,5 mg untuk pasien beratnya 50 sampai 100 kg, atau 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 100 kg. Pada anak-anak, pemberian dosis berdasarkan berat badan dari rejimen dan bervariasi sesuai dengan usia pasien. Untuk pasien yang dicurigai mengalami heparin-induced thrombocytopenia, maka direkomendasikan untuk terapi antikoagulan awal direct thrombin inhibitors intravena (seperti argatroban, lepirudin).
 LMWH atau UFH harus diberikan selama minimal 5-7 hari atau lebih lama pada pasien yang memiliki penyakit berat (misalnya, DVT iliofemoral atau emboli paru masif). Terapi antikoagulan oral dapat dimulai pada hari pertama pengobatan dan LMWH / UFH tidak boleh dihentikan sampai INR telah tercapai sedikitnya 2.0 selama 2 hari berturut-turut. Pemeriksaan platelet dapat dilakukan pada 5 sampai 7 hari untuk memeriksa heparin-induced trombositopenia jika pasien tersebut menerima UFH.

Terapi Antikoagulan Jangka Panjang
Untuk terapi anti koagulan jangka panjang pasien DVT biasanya diberikan warfarin secara oral dimulai saat terapi antikoagulan awal diberikan. Pemberian warfarin dimulai dengan dosis 5 -7,5 mg. Ada juga yang memulai dosis 10 mg untuk usia < 60 tahun atau pasien rawat jalan dan 5 mg untuk pasien > 60 tahun atau dirawat inap. Target dosis warfarin yang diberikan adalah International Normalized Ratio (INR) mencapai ≥ 2,0 selama sedikitnya 24 jam kemudian dipertahankan antara 2,0-3,0. Terapi direct thrombin inhibitor secara oral seperti dabigatran mempunyai keamanan dan efektivitas yang sama dengan warfarin untuk tromboemboli vena akut dan tidak membutuhkan monitoring laboratorium.
Lamanya pemberian antikoagulan terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Secara umum antikoagulan aman dihentikan setelah 3 bulan pada pasien dengan episode pertama DVT yang berhubungan dengan faktor risiko mayor yang reversibel (seperti pembedahan atau trauma).
2. Pasien dengan DVT berulang atau DVT yang penyebabnya tidak diketahui harus menjalani terapi dengan durasi tanpa batas dan secara periodik dinilai risiko dan keuntungan dari terapi tersebut.
3. Pada pasien kanker dengan DVT, terapi awal harus dipertimbangkan LMWH sebagai monoterapi selama paling sedikit 3 – 6 bulan atau selama kanker tersebut diterapi (seperti pemberian kemotrapi). Tetapi jika ada halangan untuk pemberian LMWH, pemberian warfarin dengan target INR 2,0-3,0 merupakan alternatif pilihan. Penggunaan direct thrombin inhibitors untuk terapi awal dan terapi jangka panjang telah menunjukkan hal yang menjanjikan.

Obat Antikoagulan Lainnya
Dabigatran merupakan direct thrombin inhibitor yang selektif dan dapat diberikan secara per oral. Saat ini Dabigatran dapat digunakan sebagai pencegahan terjadinya venous tromboemboli (VTE) setelah pembedahan arthroplasty lutut dan pinggul, terapi VTE, mencegah stroke dan emboli sistemik pada pasien Atrial fibrilasi nonvalvular. Dosis yang dapat diberikan 150-220 mg sekali sehari untuk mencegah terjadinya VTE dan 150 mg dua kali sehari sebagai terapi VTE. Pada penelitian yang dilakukan oleh Schulman dkk Dabigatran mempunyai effektifitas dan tingkat keamanan yang setara dengan warfarin serta penggunaan Dabigatran tidak memerlukan monitoring laboratorium.
Rivaroxaban merupakan direct faktor Xa inhibitor yang sudah disetujui penggunaannya di beberapa negara sebagai pencegahan VTE pada pasien yang menjalani pembedahan pinggul dan lutut. Obat ini masih dikembangkan lagi sebagai terapi VTE dan pencegahan acute ischemic attack pada pasien atrial fibrilasi. Pada penelitian klinis fase 3 Rivaroxaban terbukti lebih efektif dibandingkan enoxoparin dalam mencegah DVT pada pasien pembedaan pinggul dan lutut dan lebih efektif dibandingkan plasebo untuk terapi DVT dan emboli paru setelah pemberian 6-12 bulan. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg sekali sehari pada pembedahan orthopedic major dan 20 mg sekali sehari sebagai pencegahan sekunder VTE.

Terapi Pembedahan Trombektomi
Pembedahan trombektomi merupakan prosedur terapi yang penting dalam pencegahan terjadinya sequele yang berat akibat komplikasi trombosis pada pasien sehat dan mencegah nekrosis vena pada pasien dengan phlegmasia cerulea dolens. Pembedahan trombektomi juga diindikasikan pada lesi yang tidak dapat dilakukan pemasangan kateter, lesi dimana sukar dihancurkan, terdapat kontraindikasi trombolitik atau antikoagulan serta gagal trombolitik.
Dengan anestesi umum, trombus pada vena iliaka dikeluarkan menggunakan kateter embolectomy fogarty, trombus pada daerah perifer dikeluarkan dengan teknik antegrade (teknik Milky / Esmarch bandage). Kemudian dilakukan dilatasi balon atau stenting untuk kompresi vena iliaka. Setelah pembedahan, heparin dapat diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan sampai 6 bulan setelah pembedahan. Pembedahan paling baik dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Hasil dari bedah trombectomy kemudian dapat dievaluasi dengan menggunakan venografi.

Komplikasi dan Pencegahan Deep Vein Thrombosis

Meskipun dengan terapi yang adekuat beberapa pasien DVT akan mengalami komplikasi jangka panjang seperti DVT berulang, emboli paru dan post-thrombotyc syndrome.
Risiko terjadinya recurrent DVT tergantung dari penyebab DVT tersebut. Trombus yang berasal dari pembedahan atau trauma jarang menyebabkan terjadinya recurrent DVT. Individu dengan spontaneus DVT tanpa faktor resiko akan mengalami resiko ulangan sebesar 30 % dalam 10 tahun. Semakin banyak faktor resiko semakin tinggi resiko terjadinya kekambuhan.
           Pulmonary Embolism (PE) muncul jika terjadi pelepasan fragmen trombus ke sirkulasi darah dan mencapai jantung dan kemudian menyumbat arteri pulmonalis. Emboli paru merupakan komplikasi fatal yang memerlukan penanganan cepat. Gejala emboli paru biasanya sesak nafas, nyeri dada, batuk tiba-tiba, sinkop dan hemoptisis. Dari pemeriksaan fisik bisa ditemukan takipnea, takikardi, tanda-tanda DVT, sianosis, demam serta hipotensi. Pada pasien yang dicurigai mengalami PE harus dilakukan penilaian probabilitas klinis dengan menggunakan Revised Geneva Score atau Wells Score yang membagi kemungkinan PE menjadi tiga kategori yaitu risiko rendah, moderate dan berat. Kategori risiko berat atau pasien mengalami hipotensi atau syok harus segera dilakukan CT scan dada jika tersedia atau ekokardiografi. Jika positif, maka pasien diterapi dengan trombolitik atau embolektomi. Pada pasien yang kategori risiko tidak berat, maka dilakukan tes D-dimer terlebih dahulu yang bila hasilnya positif dilanjutkan pemeriksaan CT multidetektor. Jika hasil CT multidetektor positif, maka diberikan terapi antikoagulan seperti pada DVT .
Post thrombotyc syndrome( PTS ) merupakan komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga pasien DVT akan mengalami PTS. 5- 10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena. Pada pasien DVT simptomatik proksimal diatas lutut, 80 % akan terjadi komplikasi PTS. PTS yang berat dilaporkan pada 50 % kasus dan ulserasi lutut muncul pada 10 % pasien. Kondisi ini akan menurunkan disabilitas dan kualitas dari hidup. PTS rata-rata mengenai pasien berumur 56 tahun dan 50 % mengenai pasien usia kerja, hal ini akan menurunkan kualitas sosial pasien. PTS disebabkan oleh hipertensi vena kronik yang sekunder disebabkan oleh reflux vena, obstruksi vena dan disfungsi katup vena. Gejala dari PTS ini adalah kelemahan tungkai, nyeri, gatal, bengkak, kaki terasa berat dan klaudikasio vena. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi perimalleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis. Pada kondisi yang berat dan tahap akhir akan menyebabkan ulserasi vena. The  Subcommittee on Control of Anticoagulation of the Scientific  and Standardization Committee of the International Society on  Thrombosis and Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS.  Compression Ultrasonography dapat dilakukan untuk  menegakkan diagnosis pada  pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya. Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan  elastic compression  stockings  (ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan,  intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala jangka pendek.  Compression therapy, perawatan kulit dan  topical dressings  digunakan untuk ulkus vena. PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien risiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi, menggunakan  elastic compression stocking  selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis DVT  ditegakkan.

PENCEGAHAN

Pencegahan DVT merupakan hal yang sulit oleh karena beberapa faktor risiko tidak bisa diubah seperti umur dan riwayat keluarga. Berjalan dan mobilitas dini pasca operasi dapat mencegah terjadinya DVT. Penggunaan elastic stocking pada pasien dengan resiko terjadi DVT sangat berguna dalam pencegahan DVT. Elastic stocking sangat berguna selama tidak menimbulkan komplikasi perdarahan, mudah dipakai dan tidak mahal. Intermitten pneumatic compression sangat berguna pada pasien dengan resiko tinggi terutama ada resiko terjadinya perdarahan. Penggunaan Unfractionated heparin dosis rendah dapat juga dipergunakan dalam pencegahan DVT. Heparin dapat diberikan dengan dosis 5000 unit tiap 8 sampai 12 jam kemudian dapat digantikan warfarin jika resiko trombosis masih ada. Resiko terjadinya perdarahan harus dimonitor secara ketat dengan menyesuaikan APTT sesuai yang dikehendaki. LMWH dapat diberikan sekali atau dua kali sehari sebagai pengganti UFH. Dari penelitian yang dilakukan Agnelli dkk, penggunaan Enoxaparin bersamaan dengan compression stocking lebih efektif dibandingkan penggunaan compression stoking saja dalam mencegah terjadinya venous thromboembolism pada pasien yang telah dilakukan pembedahan saraf. Sedangkan penggunaan aspirin setelah penggunaan antikoagulan dihentikan dapat mencegah terjadinya trombosis ulangan tanpa meningkatkan resiko perdarahan.

Cara Mendiagnosis Deep Vein Thrombosis (DVT)

Berdasarkan tipenya DVT dapat dibagi menjadi tipe sentral yaitu DVT pada vena iliaka atau femoral dan tipe perifer bila DVT terjadi pada vena poplitea dan daerah di distalnya. Untuk mendiagnosis suatu DVT maka langkah pertama yang harus dievaluasi pada pasien adalah penilaian klinis berupa tanda, gejala dan faktor risiko terjadinya trombosis vena. Pasien dengan gejala yang simtomatis DVT menunjukkan nyeri pada tungkai, pembengkakan, lembek di sepanjang distribusi DVT, kemerahan atau sianosis.
Tanda dan gejala dari DVT dapat muncul beberapa hari atau bisa juga berkembang dalam beberapa jam. Tanda dari DVT meliputi edema, nyeri, hangat, kemerahan atau perubahan warna kulit pada daerah yang terkena (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea  dolens/blue leg). Kadang-kadang betis terasa tebal, berat, terasa sedikit tidak nyaman ataupun bisa nyeri yang hebat saat berdiri maupun aktivitas. Pada kasus tertentu kadang-kadang DVT tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun. Hal ini bisa disebabkan oleh karena tidak terjadi obstruksi total pada vena dan adanya sirkulasi kolateral. Diantara pasien DVT yang mempunyai gejala pada ekstremitas bawah, kurang dari sepertiga mempunyai tanda klasik yaitu betis yang tidak nyaman, edema, distensi vena dan nyeri kaki pada saat didorsofleksikan (Homans’s sign). Seringkali diagnosis DVT tidak intensif dan tidak akurat karena gejala dan tanda klinis seringkali overlapping dengan penyakit lain. Differential diagnosis dari DVT ini meliputi kelainan pada lutut dan betis seperti penyakit muskuloskeletal, gangguan limphatik, dan kista popliteal. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis DVT diperlukan diagnosis tes yang sensitif dan spesifik.
Ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis DVT, antara lain :

A. Skor Wells
Skor Wells digunakan untuk menstratifikasi pasien dengan kemungkinan menderita DVT, dapat dibagi menjadi kelompok resiko rendah, sedang dan tinggi.

Tabel Skor Wells pretes probablitas untuk memprediksi kejadian DVT
Clinical Characteristic Score
Kanker aktif ( menjalani terapi dalam 6 bulan, atau paliatif ) = 1
Paralisis, paresis, atau menjalani immobilisasi pada ekstremitas bawah = 1
Terbaring di tempat tidur > 3 hari atau menjalani bedah mayor dalam 12 mg dengan Anestesi regional atau umum  = 1
Pada perabaan teraba lembut sepanjang sistem distribusi vena dalam = 1
Seluruh kaki bengkak = 1
Pembengkakan betis lebih besar 3 cm dibandingkan daerah yang asimptomatis (diukur 10 cm dibawah tibial tuberosity) = 1
Edema pitting terbatas pada kaki yang terkena =1
Vena kollateral superficial (nonvaricose) = 1
Pernah mengalami DVT sebelumnya =1
Diagnosis alternatif setidaknya mungkin sebagai DVT  =  -2

Diagnosis alternatif termasuk : phlebitis superficial, muscle strain, kaki bengkak pada tungkai yang paralise, insufisiensi vena, edema karena penyebab sistemik seperti CHF atau cirrhosis, obstruction vena eksternal (misalnya karena tumor), lymphangitis atau lymphedema, hematoma, pseudoaneurysm atau  abnormalitas pada lutut.


Tabel Interpretasi Skor Wells
Interpretasi skor Wells
Tes                                           Hasil                                                 Interpretasi
Skor Wells                               ≥3                                          High pretest probability
                                                 1-2                                         Intermediate pretest probability
                                                  ≤0                                         Low pretest probability

Tabel Evaluasi Pretes Probability dari Skor Wells
Tes yang direkomendasikan pada pasien dengan intermediate or high pretest probability ( Wells score ≥1 )
Tes                                         
Ultrasound jika Positif  = Terapi dimulai
Ultrasound jika Negatif  = pertimbangkan D-dimer jika secara klinis kecurigaan DVT sangat tinggi.
Jika D-dimer positif lakukan ultrasound dalam 3-7 hari.

Tabel Evaluasi Pretes Probability dari Skor Wells
Tes yang direkomendasikan pada pasien dengan low pretest probability 
Tes            
D-dimer  jika Positive (>400 ug/ml)   =  duplex ultrasound dengan kompresi
               jika Negative (≤ 400 ug/ml) =    pertimbangkan diagnosis alternatif



B. Ultrasonography Vena
Ultrasonografi vena adalah pilihan untuk pasien dengan hasil skor Wells pretest probabilitas moderate atau tinggi. Bersama dengan pemeriksaan D-dimer, ultrasonography vena merupakan tes yang paling berguna dan obyektif dalam mendiagnosis DVT. Penggunaan ultrasonography vena dan tes D-dimer bersama dengan penilaian klinis dapat menurunkan penggunaaan contrast venography yang merupakan standar diagnosis DVT. Ultrasonography vena dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya thrombus pada vena ekstremitas bawah, menentukan karakteristik dan staging dari penyakit thrombus dan mengevaluasi apakah suatu thrombus berpotensi menyebabkan suatu emboli. Meskipun ultrasonography vena sangat reliable untuk mendiagnosa DVT pada fase akut, tetapi ultrasonography vena sangat terbatas dalam mendiagnosa DVT kronik. Ultrasonography vena merupakan tes yang obyektif pada pasien dengan high atau moderate pretest probability. Jika hasil ultrasonography vena pada kelompok tersebut positif maka diagnosa DVT sudah dapat ditegakkan. Jika ultrasonography vena dikerjakan pada kelompok low pretest probability hasilnya negatif maka diagnosa DVT dapat disingkirkan.
Kriteria ultrasound duplex pada DVT antara lain : vena tidak tertekan pada posisi melintang dengan probe Doppler, tampak adanya trombus, tidak ada aliran pada imaging color, vena tidak dilatasi saat dilakukan valsava maneuver (khusus untuk vena femoralis), respiratory phasicity kurang. Dalam keadaan normal vena tertekan/terkompresi oleh probe Doppler, dengan posisi melintang. Vena yang tidak terkompresi menggambarkan adanya trombus. Trombus yang baru terlihat sangat echolusent sehingga susah untuk memvisualisasikannya. Lama-lama trombus menjadi echogenic (putih) dan keadaan kronik mungkin tampak rekanalisasi (dinding menebal, pada lumen tampak aliran tidak teratur). Tidak tampak ada aliran darah pada imaging color menunjukkan adanya oklusi. Pada vena sentral seperti vena ilaka, lebih susah untuk mengevaluasi secara langsung dengan duplek dan maneuver kompresi. Cara tidak langsung yang dapat digunakan adalah dengan aliran phasic. Dilatasi vena femoralis yang tidak normal dengan maneuver valsalva dapat timbul pada trombosis vena iliaka dan variasi normal respirasi pada aliran menunjukkan ketidakadaan phasic.
Ultrasonography vena B mode dengan atau color duplex imaging mempunyai sensitifitas sebesar 95 % dan spesifitas 98 % dalam mendiagnosa DVT proksimal yang simptomatis, sedangkan untuk mendiagnosis DVT distal  simptomatis sensitivitas dan spesifisitasnya hanya  60-70%. Ultrasonography vena mempunyai kelebihan berupa non invasive, cepat, aman dan mudah dikerjakan. Tetapi ultrasonography vena mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat memvisualisasi vena iliaka dengan baik dan sulit dikerjakan pasien obesitas.

C. Tes D-Dimer
Tes D-dimer adalah tes untuk mengukur produk degradasi cross-linked fibrin. D-dimer meningkat dalam plasma dengan adanya bekuan darah akut karena aktivasi simultan koagulasi dan fibrinolisis. Selama proses pembentukan trombus maka fibrinogen akan diubah menjadi fibrin monomer yang terikat dengan jaringan polimer. Selama proses fibrinolisis maka polimer fibrin tersebut akan terdegradasi yang akan menghasilkan produk akhir fibrinolisis berupa fragmen fibrin D-Dimer. D-dimer sangat spesifik untuk fibrin dan spesifisitas fibrin untuk DVT adalah rendah karena D-dimer yang meningkat tidak hanya pada keadaan trombosis akut tetapi juga pada kondisi, seperti kehamilan, kanker, peradangan, infeksi, nekrosis, diseksi aorta sehingga hasil D-dimer positif tidak berguna Sebaliknya, hasil negatif menggunakan berguna untuk menyingkirkan DVT akut.
 Saat ini telah tersedia beberapa metode penilaian D-Dimer, seperti enzyme-linked immunofluorecense assays (Elisa) (sensitifitas 96%),microplate enzyme-linked immunosorbent assays (sensitifitas 94%), quantitative latex atau immunoturbidimetric assays(sensitifitas 93%), whole blood D-dimer assays (sensitifitas 83%) dan latex semiquantitative assays (sensitifitas 85%). Tes-tes ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti Elisa merupakan tes yang sensitif tetapi membutuhkan banyak waktu, perlu pemeriksaan yang intensif dan tidak praktis pada keadaan emergensi. Sedangkan tes whole blood D-dimer assays mudah dikerjakan dan praktis, tetapi kekurangannya mempunyai sensitifitas yang rendah. D-dimer juga dapat digunakan untuk menentukan durasi terapi antikoagulan, dari penelitian yang dilakukan Palareti dkk menunjukkan bahwa pasien yang melanjutkan pemakaian antikoagulan dengan nilai D-dimer yang abnormal setelah menggunakan antikoagulan selama 3 bulan mempunyai resiko terjadinya venous troboemboli ulangan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak melanjutkan pemakaiaan antikoagulan.
Ultrasonografi dapat dikombinasikan dengan tes D-dimer dan mengurangi sekitar 60% dari jumlah pasien yang harus menjalani serial ultrasonografi. Jika USG awal hasilnya adalah normal dan hasil D-dimer adalah negatif, pengujian lebih lanjut dengan serial ultrasonografi tidak perlu dan terapi antikoagulan belum perlu diberikan. Oleh karena itu, tes D-dimer dapat mengurangi jumlah pemeriksaan USG yang diperlukan padai pasien yang datang dengan dicurigai  episode pertama DVT.

D. Venografi / Flebografi
Venografi dengan kontras merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis DVT. Teknik ini menginjeksikan suatu kontras iodinated pada vena kaki bagian dorsal untuk masuk ke sistem vena bagian dalam ekstermitas bawah. DVT didiagnosis bila terdapat filling defect. Venografi merupakan prosedur yang mahal, tidak selalu tersedia, tidak nyaman bagi pasien, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan renal insufficiency atau alergi terhadap kontras. Venografi juga mempunyai kekurangan, sekitar 20 % venogram tidak dapat menampilkan visualisasi yang adekuat. Oleh karena keterbatasan diatas maka venography bukan merupakan prosedur yang rutin dikerjakan untuk mendiagnosis DVT. Bagaimanapun venografi merupakan prosedur standar untuk mendiagnosis DVT, terutama bila prosedur lain gagal untuk mendiagnosis DVT.

E. Computerised Tomography vena
Computerised tomography vena atau CT venography merupakan salah satu modalitas untuk mendiagnosis DVT. CT venography dapat dikerjakan dengan metode langsung yaitu melakukan pungsi vena pada vena dorsal kaki kemudian dilakukan injeksi kontras maupun tidak langsung dengan penyuntikan kontras pada arteri hingga timbul venous return. CT venography dapat mendeteksi DVT secara akurat dan kombinasi bersama CT pulmonary angiography telah direkomendasikan untuk mengevaluasi emboli paru dan DVT dengan satu kali pemeriksaan.
CT venography mempunyai sensitivitas 96 % dan spesivisitas 95 % untuk mendiagnosis DVT proksimal. CT venography dapat memvisualisasi vena pelvis, trombus pada vena iliaka dan vena cava inferior. CT venography mempunyai kekurangan yaitu penggunaan kontras media yang menimbulkan efek radiasi pada pasien, sulit untuk menginterpretasikan jika terdapat artefak atau pengisian vena yang menurun, lebih mahal, memerlukan teknik seorang ahli dan tidak tersedia di setiap rumah sakit .

F. Magnetic Resonance Imaging
             Satu lagi modalitas yang digunakan untuk mendiagnosis DVT adalah Magnetic Resonance Imaging Vena (MRI Vena). MRI vena dapat digunakan untuk memvisualisasikan vena pelvis, mendeteksi adanya ekstensi trombus pada vena iliaka dan pada vena cava inferior. MRI vena mempunyai sensitivitas 96 % dan spesivisitas 93 % dalam mendiagnosis DVT simptomatis, sedangkan untuk DVT bagian distal MRI hanya mempunyai sensitivitas sebesar 62 %.MRI vena dapat dikerjakan dengan atau tanpa kontras. Untuk mendapatkan gambaran struktur vaskular yang lebih baik dapat digunakan kontras seperti gadolium. Kontras dapat diinjeksikan melalui vena kaki atau lengan.